
Singaraja, 16 Juli 2025 – Program Studi Pendidikan Sejarah kembali menyelenggarakan kegiatan Praktisi Mengajar pada Mata Kuliah Pendidikan Inklusi untuk kelas A dan B. Kali ini, kuliah diisi oleh Ni Luh Putu Diana Dewi, S.Pd., seorang guru dengan pengalaman panjang dalam mendidik Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di berbagai satuan pendidikan.
Beliau memulai karier mengajarnya di SLBN C1 Denpasar (2011–2017), kemudian di SLBN 1 Badung (2017–2018), dan sejak tahun 2018 hingga sekarang mengajar di SMA Negeri 2 Mengwi. Dalam kuliah yang berlangsung selama dua sesi terpisah ini, Ni Luh Putu Diana Dewi berbagi kisah nyata dan refleksi mendalam terkait strategi pengajaran inklusif, khususnya dalam konteks pembelajaran siswa berkebutuhan khusus di lingkungan SLB dan sekolah reguler.
Dalam pemaparannya, beliau menyoroti pentingnya pengembangan metode pembelajaran yang fleksibel dan adaptif, sesuai dengan kondisi dan kemampuan masing-masing siswa. Ia mencontohkan penggunaan metode individual learning plan (ILP) dan pendekatan visual-auditori-kinestetik untuk memfasilitasi keberagaman gaya belajar siswa ABK.
“Satu metode tidak bisa digunakan untuk semua. Di SLB, setiap anak punya kebutuhan unik, dan guru dituntut kreatif untuk menciptakan pembelajaran yang bermakna bagi masing-masing individu,” jelasnya.
Ni Luh Putu Diana Dewi juga menunjukkan beragam media dan alat bantu pembelajaran, mulai dari alat peraga konkrit, gambar berseri, kartu komunikasi, hingga media digital interaktif yang digunakan untuk menjembatani keterbatasan bahasa, pemahaman, atau motorik siswa.
Tak kalah penting, ia juga membahas bagaimana memanfaatkan sumber belajar alternatif, termasuk lingkungan sekitar dan interaksi sosial, sebagai bagian dari proses pembelajaran yang berorientasi pada kemandirian siswa. Pengalaman beliau dalam melakukan pendekatan kolaboratif dengan orang tua, terapis, dan tenaga pendamping juga menjadi pelajaran penting dalam sesi ini.
Mahasiswa terlihat antusias, terutama saat beliau membagikan cerita-cerita inspiratif dan tantangan nyata dalam menghadapi siswa dengan hambatan intelektual, autisme, ADHD, dan gangguan komunikasi. Diskusi berjalan aktif saat mahasiswa bertanya tentang penerapan pembelajaran inklusi di sekolah umum, serta bagaimana membangun suasana kelas yang inklusif dan suportif bagi semua siswa.
Dosen pengampu mata kuliah mengapresiasi materi dan semangat yang disampaikan oleh narasumber, serta menyampaikan bahwa pengalaman langsung dari guru di lapangan sangat penting untuk memperkuat pemahaman mahasiswa mengenai praktik pendidikan inklusif secara konkret.
“Praktisi seperti Bu Diana Dewi memberi gambaran nyata bahwa pendidikan inklusi bukan sekadar teori, tapi praktik yang membutuhkan empati, kesabaran, kreativitas, dan komitmen tinggi,” ujar dosen pengampu di akhir sesi.
Melalui kegiatan ini, Program Studi Pendidikan Sejarah menunjukkan komitmen dalam memperluas wawasan mahasiswa agar kelak menjadi pendidik yang inklusif, peka terhadap keberagaman peserta didik, dan mampu menciptakan ruang belajar yang ramah bagi semua.